Giliran Siapa?

Menghitung hari, satu-satu, menjelang Ramadhan. Seperti biasa, ada yang berubah menjelan bulan sakral ini. Seolah alam raya pun tahu bahwa tamu agung, penghulu segala bulan, akan hadir. Mereka merintih menanti kedatangannya, berharap diperkenankan hidup didalam bulan itu, dan diperkenankan sujud dalam naungan selimutnya yang penuh rahmat.

Sekedar ilmu “titen”, menjelang Ramadhan, biasanya alam menjadi lembut. Bila Ramadhan datang saat musim hujan, mendung akan sedikit berkurang hingga cuaca sedikit nyaman. Bila Dia datang saat musim panas, awan mendung akan banyak berarak memberi kesejukan. Hmmmm….seolah alam ingin membantu meringankan beban manusia yang harus beribadah lebih keras di Bulan itu.

Sekedar ilmu “titen” yang lain, menjelang Ramadhan, biasanya banyak yang harus “pulang”. Mereka orang-orang yang sudah tidak diperkenankan bertemu dengan duta agung pembawa rahmat. Satu-satu dijemput menghadap. Satu-satu harus kembali. Semakin dekat bulan itu, biasanya memang jadi semakin sering harus melayat.

Saat tanda-tanda kehadiran Ramadhan semakin jelas, sering terbersit dalam pikiran saya “Giliran siapa kali ini? Siapa yang harus pulang duluan?” Hmmm….semua yang hidup pasti mati kan? Semoga yang harus pulang, diperkenankan Khusnul Khotimah. Dan semoga yang masih diperkenankan menikmati Ramadhan, diberikan kesabaran dan ampunan. Bukankah sang Pemilik Ramadhan adalah yang maha bijak dan maha baik? Dia pasti tahu, saat dimana sesuatu harus berakhir, adalah saat yang terbaik bagi yang harus berakhir. ….bukan di waktu yang lain….

Gamang di Depan Pintu

Ada yang menarik dari anak pertama saya, Zuhdi. Dia selalu menangis setiap akan berangkat sekolah. Tapi bahagia setelah sekolah. Bahkan susah diajak pulang. Dia selalu menolak disuruh mandi, tapi susah disuruh keluar dari kamar mandi setelah mandi. Dia teriak-teriak waktu musim dingin lalu disuruh berendam di ofuro (Bak air panas), tapi tidak mau disuruh keluar setelah berendam.

Dalam skala mikro, khusus tentang Zu, sepertinya dia takut memulai. Benar kata Ali R.A “Rasa takut akan sesuatu biasanya lebih mengerikan dari pada yang ditakuti”. Jadi, anak lelaki pertamaku yang SHolih itu selalu Gamang di Depan Pintu.

Mungkin dia mencontoh Bapaknya ini plus sedikit lebih. Biasanya, saya memang selalu berhati-hati untuk memulai. Tapi tidak terlalu hati-hati juga. To some extend, saya juga orang nekad. Contoh, saya berani ngelamar anak orang (istri saya boo) tanpa modal! Siapa si Eka waktu itu?( Emang sekarang siapa :)) ) Kerjaan belum jelas. Baru lulus kuliah. Uang gak ada…..eeeeh….kok berani ngajak kawin. Itu cuma salah satu contoh. Masih banyak contoh lain. Jadi, saya hati-hati untuk sebagian kasus dan nekad untuk kasus lain yang memang perlu nekad. So…mungkin saya harus mengajarkan unsur nekad ini juga pada Zu.

Gamang di Depan Pintu, memang selalu dan selalu harus terjadi. Tapi toh akhirnya kita harus melewati pintu itu kalau mau masuk kan? Jadilah kuat anakku…….

Susah Listrik Ni Yeeee :))

Beberapa waktu yang lalu, disebuah pagi yang indah, dalam perjalanan ke Semarang, saya ngobrol dengan senior saya yang bijak. Obrolan ini berkisar masalah listrik. Saya yang waktu itu dekat dengan beberapa pejabat di lingkungan PLN membuka pembicaraan:

“Pak, sepertinya orang-orang atas sudah mulai mempersiapkan sistem agar Listrik bisa diperlakukan seperti produk. Lebih tepatnya seperti produk jasa yang lain, Pak. Ini supaya keuntungan perusahaan semakin besar.”

Senior saya cuma mesem-mesem, lalu bilang “Yaaa, itu bagus, Mas. Tapi, di group energy kita pun, sebenarnya ada dua sisi yang berseberangan. Satu sisi menganggap Energy sebagai produk. Produk yang harus ditarik semua potensinya demi keuntungan sebesar-besarnya. Tapi siapa si yang sebenernya untung? Sisi seberangnya berpendapat bahwa energy, terutama listrik, adalah infrastruktur. Pemerintah bertanggungjawab menyediakannya untuk masyarakat”.

Yup, begitulah sebenarnya. Perdebatan panjang itu tidak selesai-selesai. Tapi kalau dilihat sampai detik ini, sebenernya kita gak konsisten diantara kedua pendapat tadi. Kita gak konsisten dengan menyatakan listrik sebagai produk. Kita juga gak konsisten dengan menyatakan listrik sebagai infrastruktur. Hasilnya,… listrik mati lagi mati lagi…:)) Sebuah dagelan yang gak lucu.

Tapi, emang banyak dagelan di dunia perlistrikan Indonesia. Pelanggan yang belinya ngecer, dikasi harga murah (rumah tanga itu lho). Padahal pelanggan ngecer ini banyak. Akibatnya PLN rugi dan konsumsi energy nasional boros. Wong beli murah kok, kenapa musti hemat? Iya to? Kalau dinaikin…ya demo…:)) Saya pelanggan rumah tangga juga kok. Kalau tarif naik, juga pusing…sama….tapi saya hemat listrik lho. Karena saya tahu…listrik itu mahal! Mahal di biaya, mahal di dampak lingkungan.

Pelanggan yang belinya dalam partai besar, dikasi harga mahal (Industri dan Bisnis). Udah gitu, dikasi insentip-disinsentip lagi. Lha iki ki kepiye? Listrik adalah tulang punggung industrialisasi. Industrialisasi menyerap tenaga kerja. Kalau banyak orang kerja, negara damai sejah tera. Lha, industri malah dipersulit gitu? Mau banyak infestor dari mana? Dari Hongkong? Udah listriknya mahal, ada insentif-disinsentif, kalau mau nyambung listrik musti nyembah-nyembah, kalau mati listrik gak bisa dikomplain. WHAT A MESS.

Yang salah siapa? PLN? Bukan! Pemerintah! Kenapa pemerintah? Wong yang netepin harga listrik itu pemerintah…dan DPR :)) PLN itu cuma ketiban sial. Ibaratnya ketua RT lah. Udah sial jadi ketua RT, gak digaji, sering dijadikan kambing hitam lagi. So…yang galak dikit ngapa? Bikin jelas itu aturan. Listrik itu apa si? Definisikan dengan benar dan jelas! Udah gitu..laksanakan dengan konsisten. WHAT A MESS.